Your Ad Here

Thursday, June 7, 2012

Harap-harap Cemas Menanti Kanal 'Kotor' 3G

Harap-harap Cemas Menanti Kanal 'Kotor' 3G
Jakarta - Dalam beberapa bulan terakhir ini, hampir semua operator telepon selular di Indonesia yang punya lisensi 3G harap-harap cemas. Pasalnya, Kementerian Kominfo selaku regulator telekomunikasi bermaksud menyelenggarakan lelang spektrum frekuensi 3G yang masih tersisa.

Mengapa harus harap-harap cemas? Yang menjadi penyebab tak lain adalah kanal 3G yang masih tersisa, yakni kanal 11 dan 12. Menjadi harapan, lantaran ada peluang untuk menambah aset, semakin besar spektrum yang dikuasai akan semakin nyaman pelanggan dilayani dengan kualitas yang lebih baik.

Ibarat jalan tol, kanal 11 dan 12 menambah jalur jalan sehingga lalu lintas kendaraan semakin cepat dan semakin banyak. Dalam telekomunikasi selular, spektrum frekuensi hampir mirip dengan analogi jalan tol.

Bila dikaitkan dengan era broadband dan semakin terbiasanya masyarakat berkomunikasi data, kirim email, browsing internet, bertukar informasi teks dan gambar, maka bertambahnya kanal frekuensi sama dengan memperkuat kinerja dan layanan.

Alhasil, mereka yang memenangkan kanal 11 dan atau 12 memiliki potensi untuk lebih unggul dalam persaingan ke depan.

Lalu kenapa cemas? Begini, siapapun yang mendapatkan kanal 12, sebagai hasil penataan frekuensi yang saling berdekatan (contiguous), kemungkinan besar akan menanggung biaya tambahan yang jumlahnya belum pasti namun besar sekali.

Semua operator tahu, kanal ini kotor alias penuh dengan interferensi, khususnya interferensi dari Operator selular CDMA yang berada di pita frekuensi 20xx-20xy MHz.

Mendapatkan kanal 12 sama dengan mendapatkan lahan yang penuh puing, semak belukar, dan pohon besar, yang semuanya harus dibersihkan untuk dapat digunakan mendirikan bangunan.

Belajar dari pengalaman di masa lalu, operator yang mendapatkan spektrum frekuensi kotor menjadi kewajiban baginya untuk membersihkan sendiri spektrum frekuensi itu.

Persoalannya, kebiasaan seperti itu muncul karena operator menerima spektrum frekuensi berdasarkan mekanisme proses administrasi, tidak diharuskan membayar up front fee dan biaya hak penggunaan (BHP) frekuensi dalam jumlah besar hingga miliaran rupiah, bahkan cenderung gratis. Sehingga apapun resikonya menjadi tanggungan operator.

Hal ini berbeda dengan keadaan saat ini, ketika operator untuk mendapatkan spektrum frekuensi harus melalui mekanisme lelang, dan harus membayar up front fee serta BHP frekuensi dalam jumlah besar, maka kebiasaan di masa lalu mestinya sudah tak berlaku lagi.

Spektrum frekuensi yang diterima operator seharusnya sudah bersih dari interferensi, dan pembersihan ini menjadi tanggungjawab regulator yang menerima pembayaran up front fee dan BHP frekuensi.

Alasan cemas lainnya adalah, belum tentu operator yang membutuhkan frekuensi akan mendapatkan tambahan kanal frekuensi 3G yang dibutuhkannya. Dengan demikian operator akan sangat terbatas dalam mengembangkan teknologi dan menawarkan layanan telekomunikasinya.

Peran regulator sebagai pembina industri telekomunikasi seharusnya dapat mengidentifikasi kebutuhan operator-operator dalam memenuhi tuntutan kualitas dari konsumen, serta memfasilitasi operator yang membutuhkan tambahan frekuensi tersebut.

Lelang atau Beauty Contest?
ITU (international telecommunication union) selaku lembaga telekomunikasi dunia telah mengatur mekanisme pemberian hak sewa frekuensi ke dalam empat model: first come first served (administration process), lelang (auction), seleksi (beauty contest), dan undian (lottery).

Di masa lalu, regulator telekomunikasi di Indonesia menggunakan proses administrasi untuk memberikan hampir semua spektrum frekuensi kepada para pengguna sipil. Ketika pemerintah menyadari bahwa frekuensi memiliki nilai ekonomis tinggi, mekanisme lelang mulai diterapkan untuk menggantikan seleksi. Secara umum, metode first come first served dan lottery sudah tidak banyak diaplikasikan, tinggal lelang dan beauty contest.

Lelang dipilih karena selain asumsi frekuensi memiliki nilai ekonomis tinggi, juga dianggap fair bagi mereka yang menginginkan spektrum frekuensi, relatif transparan prosesnya. Sehingga peluang 'main mata' dan kongkalingkong antara operator dan regulator semakin berkurang.

Namun demikian, lelang tak menghiraukan faktor-faktor sosial-ekonomi-politik dan lainnya yang layak menjadi pertimbangan dalam pemberian izin penggunaan frekuensi.
Lelang lebih banyak dipengaruhi oleh pemikiran bahwa spektrum frekuensi adalah sumber daya ekonomi semata. Akibatnya, lelang jadi berisiko. Yang selalu memenangkan lelang adalah operator yang didukung oleh pemilik modal yang sangat kuat.

Selain itu, lelang juga berpotensi membentuk pelaku pasar yang dominan dalam penguasaaan spektrum frekuensi, kondisi yang tidak menguntungkan industri itu sendiri, maupun masyarakat luas.

Beauty contest digunakan untuk mengatasi kelemahan lelang. Mekanisme ini sesuai dalam lingkungan industri jasa telekomunikasi yang masih memerlukan bimbingan dan perlindungan dari pemerintah.

Dengan mekanisme beauty contest, pemerintah berpeluang mengatur penggunan spektrum frekuensi memenuhi azas-azas yang tercantum dalam UU Telekomunikasi Nomor 36/1999 maupun azas yang banyak dianut oleh berbagai negara, yakni azas manfaat, pemerataan, dan keadilan.

Konsekuensi

Setiap pilihan kebijakan memiliki konsekuensi. Jika Kementerian Kominfo menetapkan lelang sebagai mekanisme pemberian tambahan kanal 3G, maka bagi operator konsekuensinya adalah harus membayar sejumlah uang sebanyak yang dinyatakan dalam penawaran lelang.

Uang tersebut dapat dianggap sebagai sewa penggunaan spektrum frekuensi untuk jangka waktu tertentu, yang pembayarannya dilakukan melalui up front fee dan biaya hak sewa penggunaan frekuensi tahunan.

Apa fasilitas yang didapat setelah membayar 'sewa' penggunaan frekuensi? Jawabnya sudah pasti spektrum frekuensi yang kemudian digunakan untuk memancarkan layanan 3G.

Apa hanya itu? Mestinya tidak. Regulator yang menerima 'uang sewa' mestinya berkewajiban untuk membersihkan spektrum frekuensi dari penggunaan oleh orang lain yang tidak berhak, atau yang melawan hukum.

Operator yang dinyatakan memenangkan lelang dengan membayar harga sewa tertinggi berhak mendapatkan spektrum frekuensi yang bersih dari gangguan atau interferensi dari pengguna spektrum frekuensi lainnya.

Jika pilihan yang diambil adalah beauty contest -- dimana dasar penetapan penerima sewa frekuensi bukan dari penawaran tertinggi, melainkan dari score administrasi, teknis, kinerja operasional, serta penerapan azas manfaat dan azas kesetaraan (level of playing field) -- maka operator penerima frekuensi tambahan harusnya dibebaskan dari keharusan membayar biaya sewa, dan operator yang bersangkutan menyatakan bersedia menerima spektrum frekuensi apa adanya.

Artinya bila kanal yang diberikan ternyata kotor, atau masih ada pengguna lain di spektrum tersebut, maka risiko membersihkan kanal tersebut menjadi tanggung jawab operator.

Atur Ulang Lokasi Kanal
Dengan adanya kenyataan bahwa kanal 12 masih kotor, ada interferensi kuat dari operator yang beroperasi menggunakan CDMA, dan bila pemerintah tak dapat menjamin kebersihan kanal 12 dari interferensi, sangat bisa diterima bila operator 3G cemas dan khawatir.

Meski biaya pembersihan kanal belum dapat dipastikan besarannya, yang pasti nilainya tak sedikit mengingat cakupan wilayah yang harus dicover meliputi seluruh wilayah nusantara.

Jika regulator menyelenggarakan lelang, maka untuk memastikan kanal yang diberikan kepada penawar tertinggi bersih dari interferensi, regulator harusnya mewajibkan operator CDMA yang berada di atas spektrum frekuensi 3G itu untuk menanggung semua biaya pemasangan filter. Atau memindahkannya ke frekuensi lain yang tidak berinterferensi dengan operator 3G yang ada di kanal 12.

Perlu diingat, ketika mendapatkan frekuensi yang saat ini ditempati operator CDMA tersebut, tidak diharuskan membayar up front fee yang jumlahnya ratusan miliar rupiah sebagaimana dilakukan operator 3G dan izin penggunaan frekuensi yang diberikan oleh Pemerintah kepada Operator CDMA sifatnya sementara.

Oleh karena itu demi keadilan, regulator seharusnya tegas menagih up front fee dan BHP frekuensi kepada operator CDMA yang telah menimbulkan interferensi. Sebesar dan sebagaimana yang dibayarkan operator 3G, yang selanjutnya digunakan oleh pemerintah untuk membersihkan kanal yang kotor.

Sumber : detik.com

0 comments:

Post a Comment